oleh

Mengkritisi Undang – Undang, Perlukah Bagi Publik ?


ARTIKEL (DNN) – Perubahan UU KPK dan RUU KHUP di sambut aksi turun ke jalan oleh kelompok mahasiswa. Kritik pun di lontarkan. Uniknya, aspirasi mahasiswa kali ini mengunakan poster dengan tulisan yang mengundang gelak tawa. Ada yang mengeksresikan keresahannya dengan menulis poster “Bukan Cuma hati yang lemah, KPK juga lemah”. Ada pula poster bertuliskan “entah apa yang merasukimu DPR ? “. Tak hanya itu, para mahasiswa yang berunjuk rasa namun masih membawa kenangan mantan ditengah aksi pun ikut menyampaikan aspirasi melalui poster “Undang-undang kau buat lebih kejam dari undangan nikah mantanku” .

Itulah selera bahasa mahasiswa. Menghibur tapi memberi pesan menohok. Esensinya, agent of change itu mengkritik pemerintah yang sembrono memproduksi hukum positif. Pertanyaan sekarang, perlukah mengkritik undang-undang ?

Berfikir Kritis Sebagai Agent Of Change

DPR dan Presiden memanglah pihak yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan. Begitu legal-formal mengaturnya. Akan tetapi bukan berarti DPR dan Presiden dapat secara arogan membuat UU tanpa mendengar kritik publik. Begitu pula, masyarakat tak sepatutnya bersikap acuh tak acuh dan mempercayakan sepenuhnya setiap pembahasan tentang produk hukum yang akan diberlakukan oleh pemerintah. Sesungguhnya, sikap demikian berbahaya. Sepatutnya, publik harus berpartisipasi aktif dalam setiap rencana pembentukan hukum. Kritik, salah satu upayanya. Berfikir kritis. Itulah prinsip berfikir yang harus dianut dalam menyikapi setiap proses pembentukan UU yang di buat oleh DPR dan Presiden.

Kritik artinya bersuara untuk membantah. Maksudnya, mengkritisi hukum merupakan aktivitas untuk menyuarakan penolakan terhadap aturan-aturan yang bermasalah. Harapannya supaya lembaga pembuat undang-undang dapat hijrah dari sikap “basibana-basipakak” atau masa bodoh terhadap suara publik ke prilaku peduli dan memperjuangkan aspirasi masyarakat. Mengapa harus di kritisi ?

Perlu disadari, RUU yang diusulkan ataupun UU yang disahkan oleh pemerintah bisa saja hanya upaya memanipulasi keadilan dalam teks yuridis. Dampaknya, semua perbuatan dan kebijakan hukum yang nyata-nyata merugikan kepentingan publik justru akan di nilai legal dalam pandangan hukum. Sebab itu, kritik perlu untuk menyadarkan kesalahan dalam memproduksi Undang-Undang yang keliru. Sikap kritis bukan saja vitamin bagi tumbuh kembang akal hukum namun juga obat untuk menyembuhkan ketidakadilan.

 

Mengkritisi RUU yang diusulkan maupun UU yang telah disahkan merupakan upaya identifikasi masalah hukum guna menemukan jawaban apakah produk hukum yang akan disahkan atau yang telah disahkan oleh pemerintah tersebut dapat memberikan kepastian hukum, kemamfaatan dan keadilan. Sikap kritis mahasiswa terhadap proses pembentukan undang UU KPK maupun RUU KUHP patut diapresiasi bahkan harus digelorakan untuk menyikapi setiap produk peraturan yang hendak di buat oleh pemerintah. Sasarannya, agar produk UU yang akan berlaku mengikat bagi setiap orang tersebut dapat memiliki kualitas hukum terbaik sehingga tidak hanya memiliki legalitas tetapi juga memperoleh legitimasi.

 

Dengan begitu, hukum yang disepakati sebagai aturan main bersama dalam kehidupan bernegara tak hanya berlaku secara yuridis tapi juga dapat diterima secara sosiologis dan filosofis. Akhirnya, teruntuk mahasiswa indonesia, tetaplah kritis, bila sudah perlu, turunlah kejalan tapi jangan merusak, cukup hatimu yang rusak karena sang mantan.

 

Penulis :

Eko Saputra, SH,CPL

Pengacara & Legal Consultant

 

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *