NASIONAL (DNN) – Seiring mewabahnya virus Corona COVID-19, pemerintah menerapkan aturan larangan mudik. Hal ini demi memutus rantai virus tersebut menyebar ke daerah.
Kemudian, larangan itu dilaksanakan dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 25 Tahun 2020 tentang pengendalian transportasi selama masa mudik Idul Fitri Tahun 1441 Hijriah dalam rangka encegahan penyebaran Virus Corona COVID-19. Permenhub itu ditetapkan 23 April 2020.
Ahli hukum tata negara, Refly Harun menyoroti aturan tersebut.
Menurut Refly, Permenhub itu melanggar UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
Hal itu dikatakan Refly dalam video yang dibagikan melalui channel YouTube Refly Harun berjudul “Mudik vs Pulang Kampung: Maju Kepentok, Mundur Kejedot”, Minggu (26/4/2020).
“Dengan Permenhub 25 Tahun 2020 yang melarang mudik per tanggal 24 April, maka sesungguhnya sudah ada pelanggaran atau pembatasan terhadap hak asasi manusia,” ujar Refly.
Refly menyebutkan Pasal 27 (2) UU HAM berbunyi “Setiap warga negara Indonesia berhak meninggalkan dan masuk kembali ke wilayah negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. sambung dia.
“Jadi yang namanya pergerakan (manusia) itu dalam wilayah RI, mau kita ke Jakarta, mau ke Palembang, pulang lagi ke Jakarta, ke Surabaya, ke Solo, ke kota-kota lainnya, ke tempat-tempat lainnya, itu adalah hak asasi manusia,” kata Refly.
Selain UU HAM, Refly juga mengulas UUD 1945 yang terkait dengan hak asasi manusia.
Pasal 28J (2) disebutkan, dalam menjalankan hak dan kebebesannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Menurut Refly, hak asasi manusia, baik yang tercantum dalam UUD 1945 maupun yang diatur di dalam UU HAM dapat dibatasi asalkan pembatasannya diatur di dalam UU.
“Lah, kok ini pembatasannya dalam Permenhub? Nah ini yang jadi persoalan,” beber Refly.
Refly menjelaskan, dasar terbitnya Permenhub Nomor 25/2020 adalah UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
“Di situ ada paradoks, pemerintah menggunakan UU Kekarantinaan Kesehatan untuk melarang mudik, tapi di sisi lain pemerintah tidak mau memenuhi kebutuhan dasar, kebutuhan pokok masyarakat,” katanya.
Dikatakan Refly, pemerintah menerapkan PSBB (pembatasan sosial berskala besar) atau sosial distancing, tapi substansinya adalah karantina wilayah.
“Bagaimana ini duduk persoalannya? Entah pemerintah sengaja melakukan penyelundupan aturan atau penyelundupan hukum,” imbuhnya.
Dia menyebutkan bahwa jika karantina wilayah diterapkan, maka akan membebani kewajiban pemerintah untuk menyediakan kebutuhan dasar.
“Karena kalau karantina wilayah diterapkan, maka karantina wilayah itu membebani kewajiban pemerintah untuk menyediakan kebutuhan dasar penduduk yang dikarantina, termasuk juga hewan ternaknya,” katanya.
Pria kelahiran Palembang, Sumatera Selatan itu berharap pemerintah konsisten menerapkan aturan yang dibuatnya sendiri.
“Jangan lupa UU Kekarantinaan Kesehatan disetujui dan disahkan serta diundangkan pada tahun 2018. Artinya masih dua tahun lalu, masih zaman pemerintahan Presiden Jokowi,” katanya.
Dengan begitu, kata dia, Jokowi harus bertanggungjawab atas aturan ini.
“Karena itu menurut saya, Presiden Jokowi harus bertanggung jawab melaksanakan UU ini walaupun berat. Jangan kemudian pemerintah hanya mencari sisi enaknya dari penerisapan sebuah UU. Sisi tidak enaknya tidak diterapkan,” pungkasnya. (Sumber.c)*
Komentar